Berapakah harga selembar kertas tisu? Tentu anda sepakat bila saya mengatakannya murah. Andaikan satu bungkus pocket tissue berharga seribu rupiah, tentu selembar kertas tisunya berharga seratus rupiah apabila tiap satu bungkus pocket tissue berisi sepuluh lembar. Lain lagi dengan facial tissue, sebungkusnya rata-rata berharga tiga ribu sampai enam ribu rupiah dengan isi dua ratus lima puluh lembar. Jika saya ambil sebungkus yang berharga enam ribu, artinya selembar kertas tisu hanya berharga dua puluh empat rupiah. Bahkan pecahan terkecil mata uang kita saat ini adalah lima puluh rupiah. Itu pun sudah teramat sulit ditemukan.
Pertanyaannya, jika anda mempunyai sebungkus facial tissue yang masih utuh, keberatankah anda membaginya beberapa, separuhnya, atau seluruhnya dengan orang lain? Sekalipun seandainya anda hanya memiliki tinggal beberapa lembar, apakah anda merasa harganya begitu mahal?
Empat tahun yang lalu, di penghujung tahun 2006, saya bertemu seseorang yang merasa demikian. Kebetulan waktu itu saya dan ribuan orang lain mengalami gempa bumi besar yang meluluhlantakkan daerah tempat saya tinggal. Bersama-sama kami mengungsi ke sebuah lapangan luas terdekat. Lapangan bola yang biasanya terlihat amat lapang mendadak penuh sesak. Ada yang sudah tua renta, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, juga yang masih remaja. Ada yang berjalan ke lapangan dengan tertatih-tatih, ada yang mengendarai sepeda motor, ada pula yang bermobil mewah. Sebagian besar, untungnya, tidak mengalami luka serius. Saya pikir, hari itu semua orang merasakan hal yang sama dalam kebersamaan. Tapi ternyata saya salah.
Waktu itu duduk di dekat saya seorang perempuan muda, seorang dosen di sebuah universitas swasta di Yogya, bersama ayahnya yang sudah sangat tua. Malang bagi Kakek itu, kakinya tertimpa balok kayu sewaktu menyelamatkan diri keluar rumah. Saya segera menyuruh adik laki-laki saya untuk memintakan kertas tisu kepada seorang wanita yang kebetulan merupakan seorang tetangga jauh, Nyonya X. selain karena adik saya berjarak lebih dekat dengan keluarga Nyonya X mengungsi, juga karena Nyonya X tersebut mengungsi dengan menggunakan sebuah mobil mewah yang dari tempat saya duduk, saya dapat melihat sebungkus facial tissue masih utuh di atas dashboard mobilnya.
Saya mendengar jelas bagaimana adik saya meminta dengan sopan, “Maaf, Bu… boleh minta tisu-nya buat bersihin luka bapak-bapak itu?” sambil ditunjuknya Kakek malang itu.
Tetapi yang saya saksikan kemudian membuat saya tercengang. “O, ya…” jawab Nyonya X setelah sepintas melihat Kakek itu, sambil mengambil selembar-hanya selembar-tisu dan memberikannya pada adik saya. Adik saya pun hanya bisa mengucapkan terima kasih kemudian. Saya benar-benar tercengang. Kata orang Jawa, opo tumon? Siapapun dapat melihat jelas besarnya luka Kakek itu dan darahnya yang bercucuran. Keluh saya dalam hati, Tuhan, ampuni kami…
Perempuan muda yang santun itu berterimakasih pada adik saya dan segera membersihkan luka ayahnya dengan selembar tisu tersebut. Namun, tidak sampai di situ saja, Nyonya X yang bersuami seorang dokter sukses dan memiliki sebuah rumah sakit di daerah kami ini kemudian mengeluh keras-keras mengenai orang-orang yang memasuki rumah sakitnya dan mengambili Betadine obat luka dan kapas pagi itu, “Betadine karo kapasku neng rumah sakit ki entek dijupuki uwong-uwong…!” Rasanya saya ingin menangis, sedang mayat-mayat tetangganya tergeletak berjajar di pinggir jalan, masa ia masih bisa mengeluhkan hal seperti itu? Mungkinkah saya yang terlalu naïf bila berpikir demikian?
Tetapi hari itu saya tahu, betapa selembar tisu dapat menjadi teramat mahal…