Saya punya sebuah diary, buku harian. Sebenarnya sudah lebih dari satu tahun saya bertahan untuk tidak mengisinya. Bukan apa-apa, lama-lama saya bosan mengeluh pada diri sendiri (diakui atau tidak, sebagian besar diary pasti berisi keluh kesah :p ). Bosan mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya tapi cuma saya sendiri yang tahu. Saya pikir itu konyol: berteriak pada kuping sendiri. Kemudian saya memutuskan untuk membiarkan saja perasaan saya, apapun itu. Sepertinya sebagian diri saya merasa bosan untuk mendengarkan keluh-kesah sendiri.
Tetapi beberapa hari yang lalu saya kembali menyentuhnya. Tidak untuk membaca kembali apa yang saya tulis ataupun mengenang yang telah lalu. Tapi saya menulis lagi!
Anda tahu apa yang terjadi? Saya menulis satu kalimat dan air mata saya langsung keluar membanjir. Menangis berderai-derai padahal belum sampai lengkap maksud yang mau saya tulis (baca: keluhkan) dalam buku kuning bercorak kotak-kotak itu. Akhirnya, malam itu saya menghabiskan hampir dua jam untuk menulis satu halaman! Itu pun cuma dua puluh baris terisi.
Setelah itu saya mulai menyadari satu hal: membiarkan sesuatu tidak akan membuatnya mereda atau hilang dengan sendirinya, kadangkala kita hanya menumpuknya untuk suatu saat "brojol" dengan sendirinya. Seperti kantuk yang ditahan-tahan, pada akhirnya kita akan menghabiskan lebih banyak jam untuk jatuh tertidur... :)
adalah rara
Cerita Biasa Tentang Hidup
Rabu, 16 November 2011
Selasa, 28 September 2010
Harga Selembar Kertas Tissue
Berapakah harga selembar kertas tisu? Tentu anda sepakat bila saya mengatakannya murah. Andaikan satu bungkus pocket tissue berharga seribu rupiah, tentu selembar kertas tisunya berharga seratus rupiah apabila tiap satu bungkus pocket tissue berisi sepuluh lembar. Lain lagi dengan facial tissue, sebungkusnya rata-rata berharga tiga ribu sampai enam ribu rupiah dengan isi dua ratus lima puluh lembar. Jika saya ambil sebungkus yang berharga enam ribu, artinya selembar kertas tisu hanya berharga dua puluh empat rupiah. Bahkan pecahan terkecil mata uang kita saat ini adalah lima puluh rupiah. Itu pun sudah teramat sulit ditemukan.
Pertanyaannya, jika anda mempunyai sebungkus facial tissue yang masih utuh, keberatankah anda membaginya beberapa, separuhnya, atau seluruhnya dengan orang lain? Sekalipun seandainya anda hanya memiliki tinggal beberapa lembar, apakah anda merasa harganya begitu mahal?
Empat tahun yang lalu, di penghujung tahun 2006, saya bertemu seseorang yang merasa demikian. Kebetulan waktu itu saya dan ribuan orang lain mengalami gempa bumi besar yang meluluhlantakkan daerah tempat saya tinggal. Bersama-sama kami mengungsi ke sebuah lapangan luas terdekat. Lapangan bola yang biasanya terlihat amat lapang mendadak penuh sesak. Ada yang sudah tua renta, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, juga yang masih remaja. Ada yang berjalan ke lapangan dengan tertatih-tatih, ada yang mengendarai sepeda motor, ada pula yang bermobil mewah. Sebagian besar, untungnya, tidak mengalami luka serius. Saya pikir, hari itu semua orang merasakan hal yang sama dalam kebersamaan. Tapi ternyata saya salah.
Waktu itu duduk di dekat saya seorang perempuan muda, seorang dosen di sebuah universitas swasta di Yogya, bersama ayahnya yang sudah sangat tua. Malang bagi Kakek itu, kakinya tertimpa balok kayu sewaktu menyelamatkan diri keluar rumah. Saya segera menyuruh adik laki-laki saya untuk memintakan kertas tisu kepada seorang wanita yang kebetulan merupakan seorang tetangga jauh, Nyonya X. selain karena adik saya berjarak lebih dekat dengan keluarga Nyonya X mengungsi, juga karena Nyonya X tersebut mengungsi dengan menggunakan sebuah mobil mewah yang dari tempat saya duduk, saya dapat melihat sebungkus facial tissue masih utuh di atas dashboard mobilnya.
Saya mendengar jelas bagaimana adik saya meminta dengan sopan, “Maaf, Bu… boleh minta tisu-nya buat bersihin luka bapak-bapak itu?” sambil ditunjuknya Kakek malang itu.
Tetapi yang saya saksikan kemudian membuat saya tercengang. “O, ya…” jawab Nyonya X setelah sepintas melihat Kakek itu, sambil mengambil selembar-hanya selembar-tisu dan memberikannya pada adik saya. Adik saya pun hanya bisa mengucapkan terima kasih kemudian. Saya benar-benar tercengang. Kata orang Jawa, opo tumon? Siapapun dapat melihat jelas besarnya luka Kakek itu dan darahnya yang bercucuran. Keluh saya dalam hati, Tuhan, ampuni kami…
Perempuan muda yang santun itu berterimakasih pada adik saya dan segera membersihkan luka ayahnya dengan selembar tisu tersebut. Namun, tidak sampai di situ saja, Nyonya X yang bersuami seorang dokter sukses dan memiliki sebuah rumah sakit di daerah kami ini kemudian mengeluh keras-keras mengenai orang-orang yang memasuki rumah sakitnya dan mengambili Betadine obat luka dan kapas pagi itu, “Betadine karo kapasku neng rumah sakit ki entek dijupuki uwong-uwong…!” Rasanya saya ingin menangis, sedang mayat-mayat tetangganya tergeletak berjajar di pinggir jalan, masa ia masih bisa mengeluhkan hal seperti itu? Mungkinkah saya yang terlalu naïf bila berpikir demikian?
Tetapi hari itu saya tahu, betapa selembar tisu dapat menjadi teramat mahal…
Pertanyaannya, jika anda mempunyai sebungkus facial tissue yang masih utuh, keberatankah anda membaginya beberapa, separuhnya, atau seluruhnya dengan orang lain? Sekalipun seandainya anda hanya memiliki tinggal beberapa lembar, apakah anda merasa harganya begitu mahal?
Empat tahun yang lalu, di penghujung tahun 2006, saya bertemu seseorang yang merasa demikian. Kebetulan waktu itu saya dan ribuan orang lain mengalami gempa bumi besar yang meluluhlantakkan daerah tempat saya tinggal. Bersama-sama kami mengungsi ke sebuah lapangan luas terdekat. Lapangan bola yang biasanya terlihat amat lapang mendadak penuh sesak. Ada yang sudah tua renta, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, juga yang masih remaja. Ada yang berjalan ke lapangan dengan tertatih-tatih, ada yang mengendarai sepeda motor, ada pula yang bermobil mewah. Sebagian besar, untungnya, tidak mengalami luka serius. Saya pikir, hari itu semua orang merasakan hal yang sama dalam kebersamaan. Tapi ternyata saya salah.
Waktu itu duduk di dekat saya seorang perempuan muda, seorang dosen di sebuah universitas swasta di Yogya, bersama ayahnya yang sudah sangat tua. Malang bagi Kakek itu, kakinya tertimpa balok kayu sewaktu menyelamatkan diri keluar rumah. Saya segera menyuruh adik laki-laki saya untuk memintakan kertas tisu kepada seorang wanita yang kebetulan merupakan seorang tetangga jauh, Nyonya X. selain karena adik saya berjarak lebih dekat dengan keluarga Nyonya X mengungsi, juga karena Nyonya X tersebut mengungsi dengan menggunakan sebuah mobil mewah yang dari tempat saya duduk, saya dapat melihat sebungkus facial tissue masih utuh di atas dashboard mobilnya.
Saya mendengar jelas bagaimana adik saya meminta dengan sopan, “Maaf, Bu… boleh minta tisu-nya buat bersihin luka bapak-bapak itu?” sambil ditunjuknya Kakek malang itu.
Tetapi yang saya saksikan kemudian membuat saya tercengang. “O, ya…” jawab Nyonya X setelah sepintas melihat Kakek itu, sambil mengambil selembar-hanya selembar-tisu dan memberikannya pada adik saya. Adik saya pun hanya bisa mengucapkan terima kasih kemudian. Saya benar-benar tercengang. Kata orang Jawa, opo tumon? Siapapun dapat melihat jelas besarnya luka Kakek itu dan darahnya yang bercucuran. Keluh saya dalam hati, Tuhan, ampuni kami…
Perempuan muda yang santun itu berterimakasih pada adik saya dan segera membersihkan luka ayahnya dengan selembar tisu tersebut. Namun, tidak sampai di situ saja, Nyonya X yang bersuami seorang dokter sukses dan memiliki sebuah rumah sakit di daerah kami ini kemudian mengeluh keras-keras mengenai orang-orang yang memasuki rumah sakitnya dan mengambili Betadine obat luka dan kapas pagi itu, “Betadine karo kapasku neng rumah sakit ki entek dijupuki uwong-uwong…!” Rasanya saya ingin menangis, sedang mayat-mayat tetangganya tergeletak berjajar di pinggir jalan, masa ia masih bisa mengeluhkan hal seperti itu? Mungkinkah saya yang terlalu naïf bila berpikir demikian?
Tetapi hari itu saya tahu, betapa selembar tisu dapat menjadi teramat mahal…
Sabtu, 12 Juni 2010
Hidup, Bagiku
Selama bertahun-tahun saya menghirup nafas yang dikaruniakan pada paru-paru yang tidak pernah saya sadari sebelumnya (saya menganggap bernafas adalah sebuah hal yang otomatis) baru beberapa waktu belakangan saya mengerti -benar-benar mengerti- mengenai sesuatu yang mampu merubah segalanya dalam hidup:
Sudut pandang.
Ya, saya teramat sering berkomentar terhadap hal-hal yang mampir di telinga saya dengan kalimat “Ah, itu kan tergantung gimana menyikapinya aja….” atau “tergantung orangnya sih…”. Tetapi sepertinya saya tidak benar-benar mengerti apa yang saya katakan. Mungkin saya hanya bersikap sok bijak, atau melafalkannya karena itulah salah satu frasa umum yang dipakai kebanyakan orang.
Tahun-tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang membuat saya remuk. Mendapati ayah saya memiliki wanita lain adalah awalnya. Saya begitu terpukul karena saya amat dekat dengannya. Saya teramat sayang padanya. Saya ingat malam-malam buta ayah saya kerap mengajak saya keluar untuk sekedar makan gudeg atau nasi rames di warung-warung tempel. Waktu itu, perekonomian keluarga kami tidak bisa dibilang mantap. Segalanya begitu tergantung gaji bulanan ayah saya yang seorang pegawai negeri dengan karier stagnan di lingkungan kerja yang menuntut keserakahan. Saat-saat sederhana seperti itu membuat saya semakin kagum pada ayah saya. He’s my hero, he’s my best part of my life. Saya yang masih SMP waktu itu tak akan kehabisan energi untuk bercerita dengan bangga mengenai ayah saya kepada teman-teman saya.
Ibu saya seorang wanita rumahan yang sederhana, mendedikasikan seluruh jiwanya untuk keluarga yang dipunyainya. Berusaha memaksimalkan setiap hal yang dimilikinya dan sangat ingin memastikan segalanya baik-baik saja yang kemudian membuatnya sangat protektif dan kadang-kadang galak bagi anak-anaknya (yeah, saya juga mengalami masa-masa itu kok… ). Baru saya sadari betapa Ibu saya adalah orang yang rela. Semasa gadis, Ibu saya adalah borjuis kecil. Kakek nenek saya yang saudagar besar waktu itu mampu memberikannya apapun yang dminta-bahkan yang tidak diminta. Sewaktu Yogyakarta masih menjadi kota penuh orang-orang yang bersepeda, Ibu saya telah memiliki sepeda motornya sendiri. Uang sakunya melebihi uang saku teman-temannya yang terkaya sekalipun. Jatuh cinta dan menikah dengan ayah saya merupakan sebuah hal yang ia tahu konsekuensinya dengan baik: mengikuti kehidupan suaminya yang hanya pegawai negeri rendahan bergaji minus. Ibu saya melepas semua kemewahannya.
Meskipun sewaktu masih hidup kakek nenek saya terus mensuplai kebutuhan Ibu untuk merawat saya yang ketika itu masih bayi, Ibu saya tampaknya mencoba menunjukkan bahwa ia bahagia.
Sampai waktu begitu cepat berlalu dan membawa perubahan-perubahan. Waktu itu tahu-tahu saya mendapati bahwa saya telah remaja. Punya pacar dan handphone, benda yang waktu itu amat langka. Ayah saya mulai mendapat gilirannya untuk sukses setelah dengan berani mengajukan permohonan untuk keluar dari lingkaran setan tempatnya bekerja waktu itu. Ayah dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta. Lalu segalanya dimulai… saya mendapati fakta-fakta bahwa ayah saya mempunyai wanita lain. Begitu terpukulnya saya sampai saya tak mampu mengatakannya keada Ibu saya. Suatu pagi yang ramah, saya meninggalkan sebuah surat berisi cerita mengenai apa yang saya temukan di meja rias Ibu. Dengan meminjam uang sebesar dua puluh ribu kepada seorang sahabat, saya membeli sekotak pudding sepulang sekolah dengan harapan dapat menghibur Ibu. Saya tahu saya akan mendapatinya dalam kondisi teramat hancur.
Saya merasa tak mampu menghadapi semuanya bila saya ‘ikut serta’ dalam urusan mereka, maka saya menarik diri. Setelahnya, saya mencoba diam sambil masih menyimpan tumpukan kebanggaan terhadap ayah saya yang baru saja remuk. Mencoba membangunnya kembali dalam diam. Mencoba menenangkan Ibu dengan cara yang saya sendiri tidak tahu. Namun kemudian saya terlalu hanyut dalam pikiran saya sendiri. Lama-kelamaan saya merasa nyaman dalam kediaman saya. Bercakap-cakap dengan ayah adalah suatu hal yang sangat sulit saya lakukan, meskipun saya juga tak banyak berbicara dengan Ibu. Saya merasa sangat kaku untuk melakukannya. Saya tenggelam.
Tahun-tahun berlalu seperti retorika dalam novel berseri. Kadang-kadang saya bertanya-tanya seperti apakah semuanya akan berakhir ? apakah seperti keluarga teman saya yang ayahnya memilih untuk menceraikan ibunya dan hidup bersama seorang sinden atau berakhir nonton TV bersama dalam ruang keluarga sambil bercanda? Lalu pertanyaan saya terjawab.
Untuk yang kesekian kalinya ayah saya mencintai wanita lain. Kali ini ia memilih untuk bersamanya. Segala hal yang pernah menjadi milik saya mendadak hilang, yang masih ada pun saya yakin akan hilang dalam waktu dekat setelahnya. Ayah saya yang pulang rutin, meluangkan waktu untuk adik-adik saya, kondisi finansial yang mantap, posisi terpandang dalam masyarakat, mobil yang boleh saya kendarai sendiri, dan senyum Ibu saya ketika memperkenalkan diri sebagai istri dari ayah saya. Ya, saya pernah membayangkan hal seperti ini terjadi pada saya, tapi saya belum pernah membayangkan rasanya.
Adik laki-laki saya yang baru saja mengetahuinya memilih jalan yang saya lakukan waktu saya mengetahuinya bertahun lalu, menarik diri dari arena. Saya yang merasa habis tak tahu lagi mesti ke arah mana. Sementara adik perempuan yang masih kecil belum bisa menyadari apa yang terjadi. Saya tidak terbiasa menangis sejak pertama kali saya mengetahuinya. Setidaknya tidak ketika ada orang lain. Saya pikir saya cukup kuat untuk menyimpannya untuk diri sendiri. Saya tidak pernah menangis menghadapi Ibu saya yang bercerita dengan isaknya. Tidak ketika saya mendengar ayah menelepon kekasihnya. Tidak pula saat adik laki-laki saya mengeluh kehabisan uang di Bandung, tempat ia kuliah. Tapi saya tidak bisa tidak menangis saat menyetir mobil sendirian, saat menghadiri sebuah resepsi pernikahan, dan setiap malam ketika semua orang telah tidur. Menangis saat menyetir mobil memberi saya kesempatan untuk tidak terlalu terhanyut di dalamnya. Menangis saat menghadiri resepsi pernikahan membuat saya merasa teriris-iris melihat dua manusia mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan, terharu atas pengorbanan mereka yang membuat saya mengingat Ibu, sekaligus konyol (jangan-jangan saya dikira mantan pacar si pengantin!). Sementara menangis di malam hari memberi saya ruang sebanyak yang saya mau. Tapi saya tidak pernah menangis dengan bersuara. Saya takut ketahuan.
Selama berbulan-bulan saya menderita insomnia yang memutarbalikkan siklus hidup saya. Membuat saya seperti kalong. Di malam-malam yang sepi itu saya pun tidak bisa melakukan apapun dengan fokus. Bahkan sekedar membaca ataupun menonton film. Berkali-kali mengunjungi klinik karena gejala psikosomatis. Dokter-doternya pun selalu mengajukan pertanyaan yang sama, “ada yang mbak pikirkan?” dan saya selalu menjawab tidak karena memikirkan keadaan saya sudah menjadi kegiatan seperti bernafas yang saya tak sadari. Beberapa kali saya bosan berobat, saya pulang dengan membawa setumpuk obat dan tak pernah meminumnya sebutir pun. Membuatnya semakin menumpuk setiap kali saya memeriksakan diri.
Begitu dalamnya saya jatuh sampai saya sadar dengan sendirinya bahwa saya tidak boleh jatuh lebih dalam. Saya melihat Ibu saya mengumpulkan rupiah demi rupiah yang ia dapatkan dari berjualan baju yang membuat air mata saya mengambang dan akan saya tahan agar tidak jatuh. Salah seorang sahabatnya yang tidak rela melihat Ibu saya terpuruk meminjamkan gelang emasnya karena ia tahu Ibu saya telah menjual sebagian besar perhiasannya untuk tetap hidup. Ibu saya menolak waktu sahabatnya tersebut membelikan gelang baginya dengan dalih boleh dibayarnya kapanpun bila Ibu mau. Maka sahabatnya memutuskan untuk meminjaminya.
Yang tidak pernah saya ceritakan kepada orang lain adalah mengenai bekas garis luka di pergelangan tangan kiri saya. Saya tahu, saya teramat bodoh waktu melakukannya. Tapi saya begitu dihancurkan oleh kenyataan-kenyataan mengenai ayah saya dan pacar saya waktu itu. Hal yang membuat saya sadar adalah bahwa tidak peduli sedalam apa saya menggores, nadi saya tak pernah terluka, bahkan setelah berkali-kali saya mencoba dengan alat yang berbeda. Hanya tersisa garis merah tipis yang bekasnya tidak hilang sampai sekarang. Saya tahu seharusnya saya bisa membuat darah mengucur deras dari tangan saya. Saya juga tahu bahwa seharusnya luka setipis itu tidak akan meninggalkan bekas. Hal terakhir yang saya tahu : saya belum boleh mati.
Mencoba bertahan adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan ketika hanya berpura-pura. Tapi saya mulai menemukan satu cara baru untuk membantu saya. Saya berhenti memandang hal-hal negatif dan sebaliknya, saya beralih ke hal-hal positif. Saya berhenti berpikir bahwa saya kehilangan ayah saya dan saya mulai bersyukur bahwa saya masih memiliki keluarga saya yang lain. Saya berhenti berpikir bahwa ayah meniggalkan kami dan mulai berpikir bahwa ayah lebih bahagia bersama mereka. Saya berhenti mengeluh soal mobil tua dan mensyukuri bahwa saya masih bisa berlindung di bawah atap mobil sementara banyak orang lain yang tidak memiliki keberuntungan sebesar saya. Juga meskipun saya tahu saya kekurangan uang, saya tetap bersyukur bahwa saya ‘kaya’ dengan cara yang berbeda, malah kadang saya meyakini bahwa saya teramat kaya. Pikiran-pikiran seperti itu sangat membantu saya menghadapi perasaan saya sendiri. Meski pada malam hari saya selalu dilanda sepi dan tangis, tapi saya mulai membangun keyakinan yang membantu saya tetap berdiri. Kadang berdiri dengan gemetar, kadang dengan kokoh. Tapi saya tahu apa yang akan saya lakukan. Saya akan merubah sudut pandang saya terhadap sesuatu yang menyakitkan sehingga terasa jauh lebih baik bagi saya. Saya sedang mengambil mata ketiga supaya saya dapat melihat dari sudut padang yang berbeda. Mungkin nanti saya kan mengambil lagi mata keempat, kelima, bahkan keseratus! Saya membuat diri saya bahagia atas segala keadaan yang saya miliki. Saat ini, bagi saya hidup adalah sebuah karunia, tidak peduli apapun yang terjadi di dalamnya.
Sudut pandang.
Ya, saya teramat sering berkomentar terhadap hal-hal yang mampir di telinga saya dengan kalimat “Ah, itu kan tergantung gimana menyikapinya aja….” atau “tergantung orangnya sih…”. Tetapi sepertinya saya tidak benar-benar mengerti apa yang saya katakan. Mungkin saya hanya bersikap sok bijak, atau melafalkannya karena itulah salah satu frasa umum yang dipakai kebanyakan orang.
Tahun-tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang membuat saya remuk. Mendapati ayah saya memiliki wanita lain adalah awalnya. Saya begitu terpukul karena saya amat dekat dengannya. Saya teramat sayang padanya. Saya ingat malam-malam buta ayah saya kerap mengajak saya keluar untuk sekedar makan gudeg atau nasi rames di warung-warung tempel. Waktu itu, perekonomian keluarga kami tidak bisa dibilang mantap. Segalanya begitu tergantung gaji bulanan ayah saya yang seorang pegawai negeri dengan karier stagnan di lingkungan kerja yang menuntut keserakahan. Saat-saat sederhana seperti itu membuat saya semakin kagum pada ayah saya. He’s my hero, he’s my best part of my life. Saya yang masih SMP waktu itu tak akan kehabisan energi untuk bercerita dengan bangga mengenai ayah saya kepada teman-teman saya.
Ibu saya seorang wanita rumahan yang sederhana, mendedikasikan seluruh jiwanya untuk keluarga yang dipunyainya. Berusaha memaksimalkan setiap hal yang dimilikinya dan sangat ingin memastikan segalanya baik-baik saja yang kemudian membuatnya sangat protektif dan kadang-kadang galak bagi anak-anaknya (yeah, saya juga mengalami masa-masa itu kok… ). Baru saya sadari betapa Ibu saya adalah orang yang rela. Semasa gadis, Ibu saya adalah borjuis kecil. Kakek nenek saya yang saudagar besar waktu itu mampu memberikannya apapun yang dminta-bahkan yang tidak diminta. Sewaktu Yogyakarta masih menjadi kota penuh orang-orang yang bersepeda, Ibu saya telah memiliki sepeda motornya sendiri. Uang sakunya melebihi uang saku teman-temannya yang terkaya sekalipun. Jatuh cinta dan menikah dengan ayah saya merupakan sebuah hal yang ia tahu konsekuensinya dengan baik: mengikuti kehidupan suaminya yang hanya pegawai negeri rendahan bergaji minus. Ibu saya melepas semua kemewahannya.
Meskipun sewaktu masih hidup kakek nenek saya terus mensuplai kebutuhan Ibu untuk merawat saya yang ketika itu masih bayi, Ibu saya tampaknya mencoba menunjukkan bahwa ia bahagia.
Sampai waktu begitu cepat berlalu dan membawa perubahan-perubahan. Waktu itu tahu-tahu saya mendapati bahwa saya telah remaja. Punya pacar dan handphone, benda yang waktu itu amat langka. Ayah saya mulai mendapat gilirannya untuk sukses setelah dengan berani mengajukan permohonan untuk keluar dari lingkaran setan tempatnya bekerja waktu itu. Ayah dipindahkan ke kantor pusat di Jakarta. Lalu segalanya dimulai… saya mendapati fakta-fakta bahwa ayah saya mempunyai wanita lain. Begitu terpukulnya saya sampai saya tak mampu mengatakannya keada Ibu saya. Suatu pagi yang ramah, saya meninggalkan sebuah surat berisi cerita mengenai apa yang saya temukan di meja rias Ibu. Dengan meminjam uang sebesar dua puluh ribu kepada seorang sahabat, saya membeli sekotak pudding sepulang sekolah dengan harapan dapat menghibur Ibu. Saya tahu saya akan mendapatinya dalam kondisi teramat hancur.
Saya merasa tak mampu menghadapi semuanya bila saya ‘ikut serta’ dalam urusan mereka, maka saya menarik diri. Setelahnya, saya mencoba diam sambil masih menyimpan tumpukan kebanggaan terhadap ayah saya yang baru saja remuk. Mencoba membangunnya kembali dalam diam. Mencoba menenangkan Ibu dengan cara yang saya sendiri tidak tahu. Namun kemudian saya terlalu hanyut dalam pikiran saya sendiri. Lama-kelamaan saya merasa nyaman dalam kediaman saya. Bercakap-cakap dengan ayah adalah suatu hal yang sangat sulit saya lakukan, meskipun saya juga tak banyak berbicara dengan Ibu. Saya merasa sangat kaku untuk melakukannya. Saya tenggelam.
Tahun-tahun berlalu seperti retorika dalam novel berseri. Kadang-kadang saya bertanya-tanya seperti apakah semuanya akan berakhir ? apakah seperti keluarga teman saya yang ayahnya memilih untuk menceraikan ibunya dan hidup bersama seorang sinden atau berakhir nonton TV bersama dalam ruang keluarga sambil bercanda? Lalu pertanyaan saya terjawab.
Untuk yang kesekian kalinya ayah saya mencintai wanita lain. Kali ini ia memilih untuk bersamanya. Segala hal yang pernah menjadi milik saya mendadak hilang, yang masih ada pun saya yakin akan hilang dalam waktu dekat setelahnya. Ayah saya yang pulang rutin, meluangkan waktu untuk adik-adik saya, kondisi finansial yang mantap, posisi terpandang dalam masyarakat, mobil yang boleh saya kendarai sendiri, dan senyum Ibu saya ketika memperkenalkan diri sebagai istri dari ayah saya. Ya, saya pernah membayangkan hal seperti ini terjadi pada saya, tapi saya belum pernah membayangkan rasanya.
Adik laki-laki saya yang baru saja mengetahuinya memilih jalan yang saya lakukan waktu saya mengetahuinya bertahun lalu, menarik diri dari arena. Saya yang merasa habis tak tahu lagi mesti ke arah mana. Sementara adik perempuan yang masih kecil belum bisa menyadari apa yang terjadi. Saya tidak terbiasa menangis sejak pertama kali saya mengetahuinya. Setidaknya tidak ketika ada orang lain. Saya pikir saya cukup kuat untuk menyimpannya untuk diri sendiri. Saya tidak pernah menangis menghadapi Ibu saya yang bercerita dengan isaknya. Tidak ketika saya mendengar ayah menelepon kekasihnya. Tidak pula saat adik laki-laki saya mengeluh kehabisan uang di Bandung, tempat ia kuliah. Tapi saya tidak bisa tidak menangis saat menyetir mobil sendirian, saat menghadiri sebuah resepsi pernikahan, dan setiap malam ketika semua orang telah tidur. Menangis saat menyetir mobil memberi saya kesempatan untuk tidak terlalu terhanyut di dalamnya. Menangis saat menghadiri resepsi pernikahan membuat saya merasa teriris-iris melihat dua manusia mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan, terharu atas pengorbanan mereka yang membuat saya mengingat Ibu, sekaligus konyol (jangan-jangan saya dikira mantan pacar si pengantin!). Sementara menangis di malam hari memberi saya ruang sebanyak yang saya mau. Tapi saya tidak pernah menangis dengan bersuara. Saya takut ketahuan.
Selama berbulan-bulan saya menderita insomnia yang memutarbalikkan siklus hidup saya. Membuat saya seperti kalong. Di malam-malam yang sepi itu saya pun tidak bisa melakukan apapun dengan fokus. Bahkan sekedar membaca ataupun menonton film. Berkali-kali mengunjungi klinik karena gejala psikosomatis. Dokter-doternya pun selalu mengajukan pertanyaan yang sama, “ada yang mbak pikirkan?” dan saya selalu menjawab tidak karena memikirkan keadaan saya sudah menjadi kegiatan seperti bernafas yang saya tak sadari. Beberapa kali saya bosan berobat, saya pulang dengan membawa setumpuk obat dan tak pernah meminumnya sebutir pun. Membuatnya semakin menumpuk setiap kali saya memeriksakan diri.
Begitu dalamnya saya jatuh sampai saya sadar dengan sendirinya bahwa saya tidak boleh jatuh lebih dalam. Saya melihat Ibu saya mengumpulkan rupiah demi rupiah yang ia dapatkan dari berjualan baju yang membuat air mata saya mengambang dan akan saya tahan agar tidak jatuh. Salah seorang sahabatnya yang tidak rela melihat Ibu saya terpuruk meminjamkan gelang emasnya karena ia tahu Ibu saya telah menjual sebagian besar perhiasannya untuk tetap hidup. Ibu saya menolak waktu sahabatnya tersebut membelikan gelang baginya dengan dalih boleh dibayarnya kapanpun bila Ibu mau. Maka sahabatnya memutuskan untuk meminjaminya.
Yang tidak pernah saya ceritakan kepada orang lain adalah mengenai bekas garis luka di pergelangan tangan kiri saya. Saya tahu, saya teramat bodoh waktu melakukannya. Tapi saya begitu dihancurkan oleh kenyataan-kenyataan mengenai ayah saya dan pacar saya waktu itu. Hal yang membuat saya sadar adalah bahwa tidak peduli sedalam apa saya menggores, nadi saya tak pernah terluka, bahkan setelah berkali-kali saya mencoba dengan alat yang berbeda. Hanya tersisa garis merah tipis yang bekasnya tidak hilang sampai sekarang. Saya tahu seharusnya saya bisa membuat darah mengucur deras dari tangan saya. Saya juga tahu bahwa seharusnya luka setipis itu tidak akan meninggalkan bekas. Hal terakhir yang saya tahu : saya belum boleh mati.
Mencoba bertahan adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan ketika hanya berpura-pura. Tapi saya mulai menemukan satu cara baru untuk membantu saya. Saya berhenti memandang hal-hal negatif dan sebaliknya, saya beralih ke hal-hal positif. Saya berhenti berpikir bahwa saya kehilangan ayah saya dan saya mulai bersyukur bahwa saya masih memiliki keluarga saya yang lain. Saya berhenti berpikir bahwa ayah meniggalkan kami dan mulai berpikir bahwa ayah lebih bahagia bersama mereka. Saya berhenti mengeluh soal mobil tua dan mensyukuri bahwa saya masih bisa berlindung di bawah atap mobil sementara banyak orang lain yang tidak memiliki keberuntungan sebesar saya. Juga meskipun saya tahu saya kekurangan uang, saya tetap bersyukur bahwa saya ‘kaya’ dengan cara yang berbeda, malah kadang saya meyakini bahwa saya teramat kaya. Pikiran-pikiran seperti itu sangat membantu saya menghadapi perasaan saya sendiri. Meski pada malam hari saya selalu dilanda sepi dan tangis, tapi saya mulai membangun keyakinan yang membantu saya tetap berdiri. Kadang berdiri dengan gemetar, kadang dengan kokoh. Tapi saya tahu apa yang akan saya lakukan. Saya akan merubah sudut pandang saya terhadap sesuatu yang menyakitkan sehingga terasa jauh lebih baik bagi saya. Saya sedang mengambil mata ketiga supaya saya dapat melihat dari sudut padang yang berbeda. Mungkin nanti saya kan mengambil lagi mata keempat, kelima, bahkan keseratus! Saya membuat diri saya bahagia atas segala keadaan yang saya miliki. Saat ini, bagi saya hidup adalah sebuah karunia, tidak peduli apapun yang terjadi di dalamnya.
Jumat, 20 Maret 2009
Bulaksumur Residence
Saya baru aja pindah! :D
Udah 3 hari saya bobo di tempat baru: Bulaksumur Residence. Kompleks mess (tapi ga messy) semi apartemen yang terletak di dalam kampus saya inilah yang bakal saya huni beberapa waktu ke depan. Tempatnya sih lumayan, dengan kamar yang cukup luas dan terang dilengkapi perabot dan kamar mandi dalam dengan toilet terpisah ditambah a small corner buat dapur telah berhasil bikin saya kepincut.
Mmm, tapi kalo boleh jujur, bukan itu alasan saya pindah. saya memang punya rumah di Jogja, tapi saya memmang memutuskan buat stay deket-deket kampus. Masalahnya cuma satu: saya bukan tipe orang yang bisa bangun pagi! Bayangkan, hampir semua kelas pagi saya selalu bolos... belum lagi jarak tempuh dari rumah saya yang terletak di pinggiran sampai ke kampus yang memerlukan waktu (dan tentu saja: bensin!) yang tidak sedikit dengan suksesnya bikin saya selalu bolos. Yeah, saya tahu, banyak orang yang rumahnya lebih jauh daripada rumah saya yang hanya berjarak 45 menit dari kampus. Tapi orang-orang itu punya bakat yang tidak saya miliki: bangun pagi. Huhuhuhuhu
Sepagi-paginya saya bangun ya jam 6. Itu berarti saya ga bakal mencapai kampus on time karna saya butuh paling cepat 10 menit untuk mandi, 10 menit untuk bersiap-siap, 10 menit untuk manasin mobil (harus lama karena mobil saya sudah pantas dipanggil "Simbah... ;p ), dan paling cepat 40 menit mengarungi traffic Jogjakarta untuk sampe kampus. Nah, totalnya adalah 70 menit. Belum lagi waktu yang saya butuhkan untuk mencari tempat parkir. Betapa leletnya saya... ;q
Selain itu, sekarang saya lagi berusaha (ya, berusaha) menyelesaikan studi dan saya butuh tempat yang sangat individualis. Saya, dengan amat puas, akhirnya menemukan tempat ini.
3 hari di sini dan saya belum berkenalan dengan siapapun! Saya memang tinggal di lantai 2, 2 tingkat dari lobby, yang meskipun lantai ini udah terisi setengah, lantai 1 udah penuh. Hahaha saya belajar sedikit antisosial nih kayanya... Kebetulan iklim di sini memang cocok begitu. Tapi saya suka sama satpam2 dan petugas2 di sini, mereka sangat menghargai orang lain :D Mungkin hanya mereka yang saya kenal :p
Ya, saya lagi berusaha mengasingkan diri dari dunia. Selain alasan2 aneh di atas, saya emang ngerasa butuh untuk sendiri...
Kadang2, menikmati kesendirian itu perlu... :)
Udah 3 hari saya bobo di tempat baru: Bulaksumur Residence. Kompleks mess (tapi ga messy) semi apartemen yang terletak di dalam kampus saya inilah yang bakal saya huni beberapa waktu ke depan. Tempatnya sih lumayan, dengan kamar yang cukup luas dan terang dilengkapi perabot dan kamar mandi dalam dengan toilet terpisah ditambah a small corner buat dapur telah berhasil bikin saya kepincut.
Mmm, tapi kalo boleh jujur, bukan itu alasan saya pindah. saya memang punya rumah di Jogja, tapi saya memmang memutuskan buat stay deket-deket kampus. Masalahnya cuma satu: saya bukan tipe orang yang bisa bangun pagi! Bayangkan, hampir semua kelas pagi saya selalu bolos... belum lagi jarak tempuh dari rumah saya yang terletak di pinggiran sampai ke kampus yang memerlukan waktu (dan tentu saja: bensin!) yang tidak sedikit dengan suksesnya bikin saya selalu bolos. Yeah, saya tahu, banyak orang yang rumahnya lebih jauh daripada rumah saya yang hanya berjarak 45 menit dari kampus. Tapi orang-orang itu punya bakat yang tidak saya miliki: bangun pagi. Huhuhuhuhu
Sepagi-paginya saya bangun ya jam 6. Itu berarti saya ga bakal mencapai kampus on time karna saya butuh paling cepat 10 menit untuk mandi, 10 menit untuk bersiap-siap, 10 menit untuk manasin mobil (harus lama karena mobil saya sudah pantas dipanggil "Simbah... ;p ), dan paling cepat 40 menit mengarungi traffic Jogjakarta untuk sampe kampus. Nah, totalnya adalah 70 menit. Belum lagi waktu yang saya butuhkan untuk mencari tempat parkir. Betapa leletnya saya... ;q
Selain itu, sekarang saya lagi berusaha (ya, berusaha) menyelesaikan studi dan saya butuh tempat yang sangat individualis. Saya, dengan amat puas, akhirnya menemukan tempat ini.
3 hari di sini dan saya belum berkenalan dengan siapapun! Saya memang tinggal di lantai 2, 2 tingkat dari lobby, yang meskipun lantai ini udah terisi setengah, lantai 1 udah penuh. Hahaha saya belajar sedikit antisosial nih kayanya... Kebetulan iklim di sini memang cocok begitu. Tapi saya suka sama satpam2 dan petugas2 di sini, mereka sangat menghargai orang lain :D Mungkin hanya mereka yang saya kenal :p
Ya, saya lagi berusaha mengasingkan diri dari dunia. Selain alasan2 aneh di atas, saya emang ngerasa butuh untuk sendiri...
Kadang2, menikmati kesendirian itu perlu... :)
Langganan:
Postingan (Atom)